Rabu, 10 Sep 2025
  • ~ Strength and Honour ~

Anak Banyak Bertanya: Kritis atau Kepo?

Anak Banyak Bertanya: Kritis atau Kepo?

Oleh Dewi Chandrawati ( Preschool Teacher)

 

“Bun, itu apa sih?”

“Yang ini untuk apa?”

“Lha kenapa aku gak boleh makan itu?”

… dsb.

Adakah yang pernah mengalami hal semacam ini? Saat dimana mendapat pertanyaan berantai yang panjang tidak ada habisnya dari murid atau buah hati? Bagaimana respon kita: dengan senang hati menjawab atau malah kesal karena kecerewetan mereka?

Lalu, wajar atau tidak sih, anak yang seperti itu? Mari kita simak hasil penelitian di Inggris :

  • Penelitian dilakukan kepada 1.000 orang ibu dan anaknya yang berusia 2-10 tahun.
  • 82% anak cenderung suka bertanya pada ibunya daripada pada ayah.
  • Dalam sehari selama 12 jam sejak sarapan sampai makan malam, seorang ibu bisa dibombardir 300 pertanyaan dari anaknya.

(Anita Fitria: Little Kids Big Question)

Dari data di atas, bisa kita simpulkan bahwa sangat wajar jika anak-anak bertanya. Karena semua itu adalah wajar dan normal sekali.

Masalah selanjutnya adalah problematika orang tua itu sendiri. Saking uniknya pertanyaan anak, kadang orang tua kebingungan dalam menjawab, sehingga tidak jarang yang memberikan jawaban sekadarnya. Padahal anak-anak itu sedang “kelaparan” akan “asupan gizi” untuk otaknya. Oleh karena itu, berikanlah jawaban sebaik-baiknya kepada mereka.

Selain itu, kita sebagai orang tua dan pendidik harus memahami bahwa “masa anak-anak bertanya” ini hanya sebentar. Dengan bertambahnya usia mereka, tingkat stress anak juga akan bertambah. Sedangkan penyumbang stress terbesar anak adalah… orang tua, yaitu jenis orang tua yang sering mengacuhkan, berteriak, marah dan mengomeli anak. Astaghfirullah…

Kembali ke pertanyaan awal, Anak Suka Bertanya = Anak Cerdas nggak sih? Bisa jadi, tapi tidak semua dikategorikan sama. Karena kasus yang muncul, ada juga anak yang sekedar kepo, bukan kritis.

Apa beda antara kepo dan kritis? Kepo lebih cenderung menggunakan kata tanya “apa” yang berarti anak kekurangan informasi, sehingga dia sedang berusaha memperkaya info dan kosa kata. Sedangkan anak yang kritis, dia lebih banyak bertanya tentang sebab akibat dengan“kenapa, lalu kenapa?”. Disituada pola pikir yang sedang dibangun. Biasanya, hal initerjadi pada anak-anak yang suka membaca buku atau yang sering diajak berdiskusi oleh orang tuanya.

Nah, bagaimana membuat anak yang kepo ini menjadi anak yang kritis? Inilah tugas orang tua dan pendidik, yaitu dengan selalu membangun pola pikir anak-anak dengan memberikan jawaban atas pertanyaan mereka, namun jawaban itu masih harus bisa memancing rasa keingintahuan. Contoh:

Anak bertanya sambil menunjuk sebuah gambar, “Bun, ini apa?”

Bunda menjawab, “Oh, itu namanya siput. Eh adek tahu nggak, siput itu takut matahari, lho…”

Anak bertanya lagi, “Lho, kenapa takut?”

…dst.

Dari dialog tersebut, orang tua terus mengajak anak untuk terus penasaran dan berpikir kan? Janganlah kita membatasi ilmu pengetahuan karena usia anak-anak masih kecil. Justru berikan pengetahun di atas kemampuan mereka untuk membangun pola pikir.

Nah, dari sini kita tentu semakin paham bahwa sebagai orang tua dan pendidik punya PR panjang dalam pendidikan dan perkembangan anak-anak kita. Buang jauh-jauh rasa kesal menghadapi kecerewetan mereka. Hadapi dengan penuh kesabaran dan senyuman karena masa anak-anak mereka tidak akan berulang. Satu lagi tugas kita, bersama-sama men”juruskan” anak-anak kepo menjadi anak-anak yang kritis! Are you ready?!

KELUAR