Karya Intan Elmira Nafa’asary (Siswa Kelas 9 – Secondary 3 )
Hari-hari panjang telah terlewati. Kini Alan, kakak dari Oji, akhirnya akan sungguh pergi menuntut ilmu ke kota lain. Di malam sebelum keberangkatannya, ia mengajak bicara Oji terlebih dahulu. “Ji, sudahlah… kalau kau menangis aku akan ikut menangis juga.” Niatnya, Alan akan mendiskusikan beberapa hal dengan Oji. Tetapi apalah daya, sekarang adiknya bernapas dengan lancar saja susah. “Kak, ayolaah. Bujuk ibu atau ayah agar aku bisa ikut sekolah di kotamu juga.” Ini bukan pertama kalinya Oji berkata seperti itu. Bahkan sebenarnya dari jauh hari, Oji sudah sebisa mungkin meminta izin kepada orang tua agar diperbolehkan ikut dengan Alan.
Alan tampak berpikir sebentar, lalu ia berbisik kepada Oji, “Besok pagi baca surat yang ada di bawah tempat tidumu. Bangun tepat jam 8, bawa sepedamu untuk pergi ke markas kita berempat.” Oji dengan semangat mengangguk saat tau apa yang direncanakan oleh Alan. “Nah sekarang tidurlah dulu, kukabari Dali dan Leon tentang ini.” Oji akhirnya bisa diam tanpa sesenggukan, dan terpaksa tidur karena sudah ditutupi selimut oleh Alan. Pikirnya, “Marilah tidur dulu, masalah besok akan diselesaikan oleh Oji esok hari.”
Tepat jam 8 pagi. Oji mengecek surat yang ada di kolong kasurnya dengan tergesa-gesa, “Dali dan Leon setuju dengan rencananya. Dali menyiapkan denah jalur tercepat untuk ke stasiun. Cepat kemasi bajumu dan pergi ke sana.” Oji tak habis pikir, kalau isi suratnya cuma begini kenapa tidak bilang langsung saja? Tetapi Oji mengesampingkan keluhannya, secepat kilat ia mengemasi baju dan kebutuhan lainnya. Serampungnya berkemas, Oji mengayuh sepedanya dengan kekuatan penuh ke markas mereka. Di sana ia melihat kedua temannya, Dali dan Leon, sudah duduk menunggu dengan gugup. “KAK DALI, huft… aku bingung.” kata Oji sambil masih terengah-engah. “Sini istirahat sebentar dulu, Ji. Aku sudah menyiapkan jalanmu untuk ke stasiun. Jangan pakai Google Maps, kamu pasti tersesat.” Dali lalu mengeluarkan sebuah lembar yang sudah dicoret-coret, tidak jelas sebenarnya, tetapi cukup untuk Oji agar bisa sampai ke sana. Leon lalu berdiri tiba-tiba, ternyata ia mengambil celengan kami berempat yang biasanya dipakai untuk membeli cemilan. “Ini ambil saja, Ji. Kami ikhlas.” katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang kepada Oji. Awalnya Oji sedikit bingung, tetapi Leon dengan paksa membuka tangannya dan menaruh uang itu. “Nah, Ji. Sekarang minumlah lalu berangkat. Sebelum orang tuamu kembali.” Suruh Dali sambil membukakan tutup botol minum Oji. Oji segera meminum dan berpamitan dengan mereka berdua. “Kak Dali, Leon, doakan selamat ya.” keduanya lalu tersenyum dan memberikan berbagai macam kata penyemangat. Perjuangan Oji telah resmi dimulai!
Kayuhan sepedanya bahkan terdengar seperti helikopter. Oji dengan gesit melawan rumitnya jalan yang sedang ia lewati. Ia akhirnya sampai ke stasiun. Namun langkahnya terhenti saat tersadar akan sesuatu. “Pak, saya mau tanya, umur 15 itu sudah bisa beli tiket kereta api sendiri belum ya?” tanya Oji ke salah satu petugas yang sedang berjaga. “Wah, kalau itu setahu saya sih belum boleh. Tetap harus didampingi orang tua, Dek.” Hah, kalau Oji disuruh menyebutkan kelemahan teman-temannya (termasuk Alan), maka ia akan dengan cepat menjawab, “Tidak tahu hukum apapun.” Dan inilah salah satu buktinya. Oji lalu terduduk lemas di jok sepedanya. Dia menghitung segala kemungkinan yang akan terjadi dengan pilihan berikutnya. Ke terminal? Lebih baik tidak daripada terus-terusan muntah. Pulang? Tidak mungkin juga. Saat ia sudah hampir saja menyerah dan pergi makan, seseorang muncul di kepalanya. Setelah menghitung-hitung jarak dan waktu yang dibutuhkan, ia lalu kembali meluncur pergi ke tujuan berikutnya.
Oji telah sampai di tujuan. Ia mengetok pintu rumah itu dengan sangat keras dan tidak sabar. Antusiasme dan rasa gugup kini saling berlomba mengambil alih otak Oji, sebelum seseorang membuka pintu dengan muka bantal. “Kenapa ke sini pagi-pagi, Ji. Ada perlu apa lagi kau?” Katanya sambil sedikit emosi. “Antarkan aku ke stasiun Jombang, Kak! Kak Alan sudah menunggu di sana!” Raut mukanya kini benar-benar tampak kalau ia sudah bangun. Oh iya, ini adalah Willy. Ia juga termasuk salah satu teman dekat Oji dan Alan. Dan yang paling penting bagi Oji sekarang, ia punya mobil. “Salam saja belum tapi kau sudah meminta bantuan. Tapi baiklah, aku antarkan. Duduk dulu di dalam, aku mandi sebentar.” Oji berulang kali mengucapkan terima kasih sambil menaruh sepedanya di atas mobil, tanpa disuruh. Lewat beberapa menit, akhirnya Willy kembali. “Katanya mau berangkat. Kenapa malah tidur disitu, Ji.” Setelah mencoba untuk bangun, Oji menyusul Willy ke mobil untuk berangkat. Sepanjang perjalanan Oji tidak fokus dan dipenuhi rasa was-was. Bagaimana jika ternyata Alan sudah berangkat dahulu? Bagaimana jika di perjalanan terjadi sesuatu? Tapi semua kekhawatiran itu hilang saat Oji melihat seseorang yang melambai ke arahnya setelah turun dari mobil. “KAK ALAAAN, KENAPA KAU TIDAK BILANG KALAU ANAK DIBAWAH UMUR TIDAK BOLEH BELI TIKET KERETA.” Alan yang sudah kaget menjadi lebih kaget lagi setelah sadar siapa yang mengantar Oji. “Kenapa kau disini, Wil?!” Willy lalu menjawab dengan sebal, “Adikmu tiba-tiba saja datang ke rumah dan minta diantarkan ke sini.” Selesai bertengkar ringan, Oji dan Alan akhirnya berpamitan dan pergi ke gerbong kereta. Sesampainya di dalam, Alan mengatakan sesuatu yang sangat mengkagetkan bagi Oji. “Ayah dan ibu sebenarnya sudah tau kalau kamu pergi lho,” Mata Oji membelalak menatap Alan. “Mereka juga sudah menyiapkan semuanya sejak berbulan-bulan yang lalu. Tetapi ingin lihat saja seberapa serius kamu ingin ikut ke sana.” Alan tertawa kecil melihat betapa kagetnya Oji sekarang. “Tetapi tadi Leon membawakanku uang dari celengan kita. Jadi tidak perlu dipakai dong?” kata Oji seraya memberikan lipatan uang pemberian Leon tadi. “Hahaha, uang itu kembalikan saja. Tetapi bukan kita yang mengembalikan. Kalau sudah sampai sana, panggil Leon untuk menyusul kita dan mengembalikan uangnya.” Alan dan Oji lalu tertawa bersama saat melihat notifikasi pesan dari Leon, “KENAPA TIDAK BILANG DARI AWAL KALAU TIDAK BUTUH UANG??? ITU MASIH BISA KUPAKAI BELI ES KRIM.” Ya meskipun seperti kena tipu, yang penting Oji kini sudah aman di sana bersama Alan.